By: IKAQ
Anak perempuan itu datang seperti lilin yang dinyalakan sesaat setelah lampu padam. Segera ia menjadi begitu menerangi dalam kegelapan—ruang pikiranku yang kesepian. Dengan langkah timpangnya yang ceria, dia menghampiriku, menaruh tangannya di atas pundakku, kemudian dengan cara yang misterius namun meyakinkan, gadis kecil bernama Titan itu, menyentuh hatiku yang rapuh dengan ketulusan. Aku masih sangat hafal sentuhan-sentuhan usil telunjuknya yang juga mempermainkan rambutku ketika dia menyapa untuk pertama kalinya di lorong rumah sakit, saat aku merasakan bumi yang kupijak terguncang dan langit yang selama ini aku topang segera runtuh dan menimpaku. Mumpung hari ini, secara misterius, aku mampu mengingat semuanya, biarkan aku bercerita sedikit pada kalian tentang ‘lilin kecil’ bernama Titan itu.
Dua tahun yang lalu aku masih seorang pelajar sebuah SMA favorit di kotaku. Katakanlah aku siswa yang berprestasi, meski bukan itu inti ceritanya. Aku menjalani masa SMA-ku selayaknya siswa SMA yang lainnya, memiliki banyak teman, menjalin persahabatan yang mengagumkan, dan menjalani kisah-kisah manis ‘merah jambu’ yang terserah orang menyebutnya apa! Karena intinya bukan pada nama, tapi rasa. Rasa panas di wajahku saat berpapasan dengan ‘dia’, rasa ngilu di hatiku saat melihat senyumnya, dan rasa sakit di suatu tempat tersembunyi di balik tulang rusukku saat melihat ‘dia’ menggandeng tangan pacarnya. Tentang rasa dan rasa.
Suatu ketika, aku terbangun dan menyadari semua yang terlewatkan selama tidur panjangku akibat koma. Seseorang memberitauku tentang tragedi yang merenggut seluruh anggota keluargaku (dan hampir-hampir juga merengut nyawaku). Kakak laki-lakiku yang tampan dan penyayang, ibuku yang cantik tapi malas senyum, serta ayahku yang dingin dan agak pelit. Ketiganya tak ada yang selamat dalam insiden itu, ledakan bom yang juga merenggut nyawa-nyawa lain selain nyawa-nyawa keluargaku, ledakan yang membuat anak-anak menjadi yatim, isteri-isteri menjadi janda, dan adik-adik kehilangan kakaknya. Satu ledakan singkat yang menghancurkan hampir keseluruhan hidupku! Jika berita itu tidak keluar dari getaran pita suara Arswa yang aku sukai, pasti reaksiku akan lebih brutal dari sekedar memutuskan untuk tidur lagi dan melupakan semuanya. Ajaibnya, aku memang kemudian kembali tidur panjang dan melupakan semuanya!
Saat aku terbangun untuk yang ke dua kalinya, dokter mendiagnosa kelainan pada reaksi kimia di otakku yang membuatku secara perlahan tapi pasti akan melupakan semua yang pernah aku ingat selama ini. Sesuatu yang disebut alzheimer bekerja seperti penghapus di dalam otakku, yang akan menghapus ingatanku mulai dari yang terdekat hingga yang melekat dalam diriku. Aku akan melupakan tragedi itu, kemudian melupakan masa SMA-ku, kenangan masa kecilku, dan yang paling menyakitkan adalah melupakan keluargaku, sahabat-sahabatku, dan orang-orang yang aku sayangi, termasuk juga Arswa. Aku juga akan lupa hari ulangtahunku, nomer telfonku, namaku, dan cara mengendalikan tubuhku. Lupa cara memegang pulpen, lupa cara berjalan, hingga pada akhirnya, aku juga akan lupa bagaimana cara bernafas!
Aku berlari keluar dari ruangan dokter menuju sebuah lorong yang sepi, remang, dan dingin. Aku hempaskan tubuhku ke sudut tembok dan membenamkan wajahku ke dalam telapak tangan yang gemetar dan berkeringat.
“Bagaimana caranya hidup dengan melupakan?” Pertanyaan itu berputar-putar di otakku, membuatku mual. “Hari ini aku menangis dan besok pagi aku akan lupa. Hari ini aku jatuh cinta dan besok pagi aku bahkan sudah tidak mengenal diriku sendiri. Bagaimana caranya, Tuhaan!!?” Aku meringkukkan tubuh dan semakin membenamkan wajahku. “Kak Ekky, Ibu, Ayah... aku akan segera melupakan kalian. Aku bahkan segera menyusul kalian! Arswaa.. teman-teman.. maafkan aku harus melupakan kalian! Percayalah! Ini bukan kehendakku. Ada ‘penghapus gila’ di dalam otakku yang akan menghapus semua-semuanya secara brutal! Dia bahkan akan segera menghapus namaku dari
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !