Dean yang baik hati,
Kamu datang untuk pertamakalinya dengan seperangkat sikap yang membuat semua orang langsung menyayangimu. Senyummu yang membuat segalanya terlihat baik-baik saja dan masalah tidaklah sesulit yang kelihatannya, benar-benar membekas dalam benakku meski beberapa waktu kemudian, sesuatu terjadi dan menjadi pemisah abadi antara kamu dan kami. Cahaya matamu, Dean, turut bersinar dalam rekah surya dan binar cahaya yang membara, hingga pada langit jingga saat senja tiba. Getar pita suaramu dalam renyah tawa dan bijak nasihat, merambat lambat dihantar angin dan debur ombak pada kami yang tak pernah bosan merindukanmu, dan membuat kami semakin merindukanmu.
Dean yang aku kagumi,
Masihkah Dean ingat aku, Yuandin si penari bulan—yang entah bagaimana akhirnya bisa kamu panggil ‘Sasih’ tanpa meminta persetujuanku sebelumnya? Embel- embel ‘penari bulan’ itu pun kamu yang berikan hanya karena pernah sekali kamu temukan aku—akhirnya berani—menari di bibir pantai setelah matahari terbenam dan laut menjadi hitam, dengan kerudung aku jadikan selendang dan bertelanjang kaki, seperti yang aku impikan selama ini. Sekali itu kamu lihat aku menggerai rambut dan membiarkannya berkibar seperti apa dia ingin berkibar. Sekali itu kamu lihat bajuku kedodoran dan rokku tidak panjang. Aku beritau. Baju putih berbahan tipis itu kudapatkan dari Bibi Elfia yang ukuran badannya dua kali ukuran tubuhku ditambah tiga perempat tubuh Dean, sedangkan rok itu milik anaknya yang empat tahun dibawahku. Ketika itu pun kamu menatapku sebagai seorang pemberontak yang manis dan menyenangkan. Kamu memuji, kamu katakan aku hanya kekurangan sayap untuk disebut bidadari, dan aku sangat bahagia mendengarnya. Bahagia karena bisa menjadi ‘penari bulan’ dan sekaligus sebagai ‘penari bulan milik Dean’.
Malam itu juga kita berbaring di pantai, membiarkan kaki-kaki kita digelitiki ombak pasang yang bersusah payah menjangkau dan mengajak bergurau. Kita menatap bulan, terdiam, beradu pandang, tersipu, terdiam lagi, kemudian..
Jatuh cinta.
Ya, Sasih jatuh cinta pada Dean. Aku biarkan hatiku jatuh yang sejatuh-jatuhnya karena aku tau akan ada Dean yang menangkapku, Dean akan mengajariku bagaimana untuk bangun dari perasaan itu, bagaimana setelah itu berdiri tegak bersamanya, mengangkat kepala, menyambut tangan Dean dalam siluet senja, kemudian melangkah dengan gagah. Berdua.
Sasih rindu Dean.
Maukah Dean mengenang saat kita ‘melempar doa dan harapan’ ke dalam pelukan ombak? Botol-botol kaca itu kita isi dengan gulungan kertas yang kita tulisi doa-doa, harapan-harapan, dan rahasia terpendam kita sebelumnya. Kemudian kita lemparkan ke laut yang keemasan diterpa matahari senja. Mereka berkilau, timbul-tenggelam, kemudian lenyap dalam kilauan matahari di riak laut.
Dean tau apa yang kutulis saat itu? Aku meminta Dean selalu bersamaku dari pasang hingga surut gelombang, dari matahari sampai bulan. Aku mau Dean seperti ombak yang kalaupun pergi, tak pernah lupa untuk kembali lagi.
Setelah itu, Dean memainkan gitar dan aku bernyanyi.
Kumohon, Dean, kenanglah selalu.
Dean yang aku sayangi,
Melalui ini juga aku ingin minta maaf. Aku ingin meminta maaf karena tidak memberimu kata maaf saat itu. Di saat kamu harus pergi untuk menyelesaikan urusanmu—yang tentu saja tidak dapat dimengerti gadis pulau sepertiku. Dengan keegoisanku, aku tolak semua pengertian yang coba kamu berikan dan kata-kata maafmu. Aku suruh kamu untuk diam dan segera pergi waktu itu. Ketahuilah, Dean, aku mengusirmu semata-mata untuk menunjukkan betapa aku tidak ingin kamu tinggalkan. Aku hanya tidak dapat menjelaskan perasaanku, aku tidak dapat memikirkan kata-kata dan menentukan sikap yang lebih tepat untuk mencegahmu pergi, karena pikiranku jauh lebih sempit dari pulau ini, bahkan jauh lebih sempit lagi, hingga cukup untuk Dean dan diriku sendiri, tak ada ruang yang tersisa lagi.
Setelah kapal Dean meninggalkan pulau, aku keluar dari kamar dan ruang sempit pikiranku. Barulah aku menyadari apa yang seharusnya aku sadari sebelum Dean pergi, sebelum senja datang membawa matahari ke dasar bahari. Aku berlari sambil meneriakkan nama Dean, berharap angin telah berganti arah dan mau menyampaikan suaraku padamu. Aku memanggilmu, meneriakkan maaf berkali-kali, menangis, dan berjanji menunggumu kembali. Tapi, mungkin janjiku tak sampai padamu, hingga kamu tidak tau aku akan menunggu, hingga Dean tidak kembali, tidak pernah lagi.
Kepada Dean yang direnggut pelukan gelombang,
Rasa takut menyengat satu sudut dalam hatiku hingga menggigil ketika para nelayan kembali dari mencari sebelum pagi. Mereka tidak hanya kembali membawa kail kosong, tapi juga membawa berita buruk tentang laut. Badai mengamuk tanpa ampun. Nelayan atau siapapun. Laut tak mengenal teman atau lawan. Laut adalah laut sendiri, dia hanya mendengar firman Tuhan.
Angin laut datang pagi-pagi membawa aroma kematian. Nelayan yang mampu bertahan semalam membawa pulang bangkai ikan dan beberapa jasad manusia yang didamparkan gelombang pada batu karang. Aku tidak ingin mengingat ini, Dean, karena salah satunya adalah jasadmu..
Jasad yang tinggal keheningan.
Meski nyata bagiku itu kamu, tapi, aku tidak mau tau. Aku masih tidak mau menerima bahwa orang yang aku sayangi dibunuh oleh laut yang aku kagumi. Ayahku yang seorang nelayan selalu mengatakan, “Laut memberi kita kehidupan”. Karena itu, aku bersahabat dengannya, aku harus menjaganya. Lalu benar, aku jaga dia. Tapi dengan peristiwa yang menimpamu, aku menyadari, laut tidak mengenal kata sahabat. Dia tidak melulu memberiku kehidupan. Kali ini, laut justeru menyodoriku kematian—orang yang mengajariku makna kehidupan.
Taukah, Dean? Aku masih selalu berdiri di bibir pantai pagi-pagi, menunggu kedatanganmu dari setiap kapal nelayan yang kembali, kemudian, aku akan menangis ketika senja tiba dan semua kapal telah pergi lagi. Aku rindu, Dean, sedangkan kamu tidak juga datang.
Di keheninganmu yang seperti ini, aku temukan keheningan riak laut hingga debur ombak. Suara dan suasana seperti melebur dan lenyap. Senyap.
Aku hampa dan semua orang berduka.
Kubayangkan bayangmu muncul dalam siluet senja, berdiri di hadapanku, membelai kerudung dan menyeka airmataku. Sedangkan aku hanya bisa berlutut dan tergugu.
Dengarlah suara-suara itu, Dean. Suara duka orang-orang yang menyayangimu, suara duka penuh kerinduan.
Aku rindu Dean...
Kami semua rindu.
Aku ingin Dean seperti ombak, yang jika pergi, tak pernah lupa untuk kembali lagi.
Tapi, ternyata ombak lebih memilih membawa Dean pergi dan tidak untuk dibawa kembali.
By : Ikaq
Sabtu, 20 Nopember 2010
Pk. 00.14 dini hari
good job 4 ikaq...
BalasHapusi like this....
smoga ini bsa mnjadi inspirasi bgi tmen2 yg lain untuk lbih berkiprah di Marginal..
bebaskan alam imajinasi kalian dan luapkanlah dalam kata2 dan bahasa jiwa kalian...
menginspirasikan kpada blog seseorang yang bertajuk "kerinduan akan sebuah tulisan"...hehehe
Keren. . . . ! ! !
BalasHapusIkaq tlisannya keren bnget.
Hehehehe. . .
By : Roby
*cerpen ini hadiah ikaq buat mbak Ayu (PPA At-Thoyyibah) yg sllu pinjemin laptop bwt ikaq. haha.. "Yuandin" dlm cerpen ni= Sri aYU ANDINi (nama lengkap mbak ayu). kalo "Dean" tu= nama yg sneng didenger mbak ayu.
BalasHapus*penulisan cerpen ni diinpirasi lagu "Di Keheninganmu" Saras Dewi. ikaq sukkkaa skali lgu Saras Dewi (*itchel)
suka ma saras dewi ya tante.. kok sama kesukaanny ma papa dekill..!! papa dekill sangat suka ma lagu2nya saras dewi lho tante..
BalasHapus