Headlines News :

Cerpen

Written By Mar-G on Selasa, 23 November 2010 | 17.48

Keberanian Siap Pakai
By : Ikaq

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa aku akan melakukan perjalanan paling mengerikan sepanjang ingatanku. Kali ini aku tidak hanya menantang rasa takutku akan gelap, namun juga rasa benciku pada kesendirian yang tidak pernah membiarkanku bahagia tanpa secarik kertas dan pena. Andaikan kamu (siapa saja yang membaca ini) berada dalam kegelapan, berjalan sendiri menyusuri hutan perbukitan yang tidak kamu kenal sama sekali, hanya diterangi setengah batang lilin yang setiap saat bisa padam ditiup angin atau habis membakar diri, apa kira-kira yang bergejolak di benakmu? Kalau kamu masih bisa berjalan dengan detak jantung normal, tanpa keram di lutut, dan mata yang tidak basah, maka banyak-banyaklah bersyukur, karena keberanian seperti itu dalam keadaan seperti ini benar-benar merupakan anugerah dari Tuhan yang tidak semua orang mendapatkannya, dan aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tidak beruntung itu. Rasa takutku bahkan terlalu besar untuk ukuran tubuhku. Entah mengapa, tapi begitulah adanya.


Hari minggu, sekitar pukul dua dini hari aku dan dua puluh satu peserta TRALIS (training jurnalistik) lainnya dikumpulkan oleh panitia di jalan setapak hutan perbukitan dusun Medas, Kekait, Gunung Sari, Lombok Barat. Setelah menguji dan menambah pengetahuan kami tentang jurnalistik dengan berbagai pertanyaan dan wejangan ini-itu, panitia menyuruh kami (aku dan peserta TRALIS lainnya) untuk kembali sendiri - sendiri ke basecamp yang berjarak satu kilometer lebih dari tempat kami dikumpulkan. Kami dibekali dengan setengah batang lilin setelah sebelumnya diinstruksikan untuk menelan bawang putih mentah. Panitia mengatakan, bawang putih itu berguna untuk menghangatkan tubuh, tetapi yang aku tahu, bawang putih mentah banyak digunakan (oleh orang yang percaya) untuk mengusir vampir. Adakah vampir di tengah hutan tropis? Entahlah! Yang jelas bawang putih itu justru semakin menegaskan rasa takut di hatiku. AKU TAKUT HANTU!!! VAMPIR beserta kawan-kawannya adalah HANTU, dan rasa takut itu sendiri juga merupakan hantu yang lebih kutakuti lagi!

“Akhirnya, tiba giliranku!”

Aku meninggalkan sekumpulan orang dan rasa nyamanku menuju kesendirian dalam kegelapan hutan dengan gejolak rasa takut dan berat hati. Aku tidak bisa menebak-nebak apa yang akan aku hadapi dalam kegelapan itu. Lebih baik aku juga tidak mencoba-coba untuk menebaknya karena itu akan menambah satu penderitaan lagi. Lagipula, harapan akan melihat cahaya dari senter panitia yang berjaga di setiap pos yang masing-masing berjarak sekitar seratus lima puluh meter adalah salah satu penghibur di kegelapan hatiku selain nyanyian-nyanyian yang terbata-bata aku senandungkan untuk mengusir rasa takutku.

Dengan langkah kecil yang kadang ragu, sesekali tergelincir, dan seringkali terantuk, aku menyusuri jalan setapak sambil memastikan lilinku tetap menyala. Tidak aku sangka, kali ini cahaya kecil di tanganku itu justru lebih aku hargai dari sebongkah api raksasa matahari yang membakar dirinya untuk menerangi bumi di siang hari. Jantungku berdetak berantakan, nyaliku ciut, dan kakiku sakit. Aku berusaha menepis segala kemungkinan-kemungkinan buruk yang berlomba menyerbu otak dan hatiku secara sporadis, tapi gagal. Tetapi tetap saja aku takut jikalau ada langkah lain di belakang kakiku, atau ada bayangan selain bayanganku yang menghias tanah di bawah cahaya lilinku. “Aku takut, Tuhan!!!”, pekik nyaliku yang nyaris musnah. “Tidak! Aku berani! Aku berani!”, bantah otakku yang merasa memegang otoritas kendali tertinggi. “Semuanya akan baik-baik saja! Aku akan baik-baik saja”, mantera penghibur untuk nyali yang hampir punah.

Aku sampai di pos perhentian pertama. Dari jarak beberapa meter, aku sudah harus mematikan lilinku agar lilin yang hanya setengah batang itu dapat terus menemani perjalanan satu kilometer lebih di kegelapan hutan yang asing, lembab, dan mengerikan. Aku diinterogasi, disuruh menyanyi, sampai didandani ala pesakitan ospek. Begitu juga dengan pos-pos berikutnya. Aku hanya perlu merasa takut beberapa menit sebelum melihat cahaya lampu senter panitia berikutnya, setelah itu aku hanya membutuhkan persiapan untuk menjawab semua pertanyaan dan tantangan panitia di setiap pos jaga. Bagaimanpun bentuk tantanganya, aku hanya menangkap satu pesan tegas dari mereka, TEMPA MENTALMU!!!

Satu persatu, setiap pos aku lalui dengan berbagai suasana hati. Ciut akibat bentakan, rasa bersalah, malu akibat “dandanan” tadi, dan tentu saja “rasa takut pada hantu” yang tidak perlu diulang-ulang untuk aku ceritakan. Tapi akhirnya aku menyadari kemajuan yang aku alami ketika akhirnya aku sampai di basecamp dengan lilin yang masih menyala, berhasil menyudahi perjalanan panjang itu tanpa basah di mataku. Selain itu, inilah yang aku pelajari, bahwa gelap tidaklah terlalu gelap jika kamu yakin akan ada cahaya di ujung jalanmu, dan sendiri tidaklah terlalu sepi jika kamu percaya bahwa keberanian itu selalu ada di saat kamu membutuhkannya. Kini keberanian itu bukan lagi anugerah yang diberikan Tuhan secara percuma bagi beberapa orang yang beruntung saja, melainkan sebuah pencapaian dari usaha dan keyakinan untuk memperolehnya (dan tentu saja setiap orang bisa meraihnya). Aku berani jika aku mau menjadi berani! Cahaya lilin kecil itu menyulut cahaya di hatiku yang gelap dan ketakutan, hingga “berani” itu memercik, menyala, dan berpendar terang! Terang sekali, sampai aku pun silau dibuatnya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Komunitas Mar-G

 
Support : LPM Marginal Proudly powered by MG Bloganizer
Copyright © 2009. Marginal Blog - All Rights Reserved
Original Design by LPM Marginal FE UNRAM