Headlines News :
Home » » Restrukrisasi Pajak Indonesia Terhadap Tax ratio Untuk Akselerasi Ekonomi Indonesia

Restrukrisasi Pajak Indonesia Terhadap Tax ratio Untuk Akselerasi Ekonomi Indonesia

Written By MARGINAL on Minggu, 03 November 2019 | 08.34


Oleh : Khaeruddin, Kementerian Advokasi Kajian dan Aksi Strategi BEM FEB UNRAM 2019

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007). Pajak adalah penerimaan negara yang digunakan untuk kepentingan rakyat, pajak akan menjadi sumber kesejahteraan rakyat jika dikelola dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu besar kecilnya penerimaan pajak akan menentukan kesejahteraan rakyat.  Pajak adalah bekal pemerintah mensejahterakan masyarakat, pembagunan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Penerimaan lain bisa saja melalui utang. Namun yang menjadi ketakutan adalah resiko invansi dan intervensi debitur jika terjadi jumlah utang yang terlalu tinggi untuk membiayai pembangunan dan lain sebagainya, ditambah kecenderungan ketakutan masyarakat Indonesia akibat isu saat ini tentang negara dan kegagalan melunasi utang yang masih pada ratio 29,98% terhadap PDB.
Tax ratio (rasio pajak) adalah istilah yang digunakan untuk mengukur kinerja perpajakan, yaitu perbandingan antara jumlah penerimaan perpajakan dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dalam kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun.Tax ratiodipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: kebijakan perpajakan termasuk tarif pajak, efektivitas pemungutan pajak, berbagai insentif dan pengecualian pajak yang diberikan kepada pelaku ekonomi dan masyarakat, dan kemungkinan terjadinya pidana pajak seperti penghindaran dan penggelapan pajak (tax evasions and avoidances). Selain itu, rasio pajak juga dipengaruhi oleh pendidikan dan pemahaman pajak dari masyarakat serta budaya kepatuhan pajak termasuk sistem penegakan hukumnya. . Dalam arti luas tax ratio terdiri atas penerimaan perpajakan beserta penerimaan SDA dan Minerba, sedangkan dalam arti sempit tax ratiohanya mengukur penerimaan perpajakan, baik pajak pusat maupun bea dan cukai. Komponen penerimaan pajak di Indonesia mencakup pemerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor Migas dan sektor Pertambangan Umum.Pajak daerah tidak menjadi komponen perhitungan rasio pajak di Indonesia.
Pada tahun 2015 realisasi penerimaan perpajakan hanya sebesar 83,29%, kemudian berturut-turut pada tahun 2016, 2017 dan 2018 adalah 83,48%, 91,23% dan 93,86%. Kementerian keuangan memberikan informasi terkait tax ratioIndonesia. Pada 2013, tax ratioIndonesia sempat berada pada angka 13,7%. Kemudian tahun 2015 terjadi degradasitax ratioyang sangat tajam yaitu 11,6%, kemudian kembali turun pada 2016 pada angka 10,8%, dan pada 2017 turun lagi pada 10,7%. Terakhir pada tahun 2018 naik kurang dari 1% yaitu pada 11,5%.
Organisation for Economic Coperation and Development (OECD) menyoroti masalah perpajakan di Indonesia.Dalam publikasinya yang bertajuk “Revenue Statistics in Asian and Pacific economies 2019-Indonesia”, mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan tax ratio yang terendah dibandingkan negara-negara lain di Asia Pasifik.Data yang digunakan oleh OECD adalah data tahun 2017. Menurut OECD tax ratiorata-rata negara anggotanya adalah 34,2%, serta rata-rata tax ratiokawasan Latin America and Caribbean dan Afrika masing-masing sebesar 22,8% dan 18,2%. Tahun 2018 Di Asia Tenggara, tax ratioIndonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia 14,4%, Filipina 13,67%, Singapura 14,29% dan Kamboja 15,3% serta Thailand 15,7%. Angka tax ratioyang dipaparkan oleh OECD berbeda dengan publikasi dari kementerian keuangan, hal in adalah wajar sebab terdapat beberapa metode penghitungan tax ratio. Namun yang jelas, komponen yang digunakan oleh OECD sama untuk semua negara yang menjadi anggotanya, sehingga data tersebut dapat dikatakan sah menjadi rujukan.
            Tax ratio Indonesia selama 5 tahun hanya berkutat pada angka 10-12%. Padahal menurut Worl Bank tahun 2019 ideal dan rata-rata tax ratio dunia adalah 15,3%.MHD. Ricky Karunia Lubis, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dalam artikel DJP pernah membuat suatu kajian mendalam yang bertajuk “Memperbaiki Kinerja Tax Ratio: Sebuah Pendekatan Makro” pada 2018. Ricky menyoroti berbagai permasalahan dalam menilai kinerja perpajakan dalam dua sudut pandang yaitu: secara global dan institusional. Secara global analisis yang patut diberikan perhatian menurutnya adalah komponen dalam PDB dan liberalisasi perdagangan, sedangkan secara institusional yang perlu disoroti menurutnya adalah regulasi dan kebijakan, kenaikan PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) pada tahun 2016, penguatan organisasi, regulasi dan sumber daya manusia, serta sinergitas antar lembaga untuk memperkuat basis data.
            Senada dengan hal yang diungkapkan oleh Ricky, Kementerian Keuangan melalui majalah resmi Media Keuangan Volume XIV, Maret 2019 yang mengangkat tajuk Transparansi Informasi Kebijakan Fiskal membahas fenomena tax rationIndonesia. Yustinus Prastowo, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyatakan bahwa fenomena rendahnya tax ratiodi Indonesia merupakan suatu hal yang menyimpang dari konsep. Sebab tumbuhnya perekonomian suatu negara idealnya diiringi dengan peningkatan kinerja pumungutan pajak, dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dalam hal ini PDB seharusnya linier dengan tax ratio, hal ini tidak berlaku di Indonesia yang kinerja pemungutan pajak cenderung stagnan. Menurut Yustinus terdapat 4 faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
Pertama persentase kepatuhan wajib pajak yang masih berada pada angka 68% (data tahun 2017), kepatuhan ini baru sebatas pada kepatuhan formal atau kepatuhan dalam menyampaikan surat pemberitahuan pajak (SPT), belum memperhitungkan kepatuhan material atau unsur kebenaran dari isi SPT. Kedua tingginya hard to tax sector termasuk di dalamnya jumlah usaha yang masih bersifat rintisan atau Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM). Pada satu sisi, UMKM menjadi penyumbang PDB terbesar, komposisi UMKM mencapai 59,2 juta atau 98,75% dari total 60,01 juta unit usaha yang ada di Indonesia. Disisi lain, jumlah wajib pajak UMKM yang terdaftar baru mencapai 1,69 juta. Hal ini dikarenakan masih rendahnya kepatuhan dan literasi mengenai pajak pada sektor UMKM, serta tantangan yang dihadapi untuk mengajak para pelaku UMKM masuk ke dalam sistem perpajakan. Selain itu, berdasarkan data PDB Indonesia Triwulanan 2015-2019 ada dua sektor usaha yang menyumbangkan kontribusi dominan yaitu pengolahan (industry) dengan angka 20,38% dengan dominasi komoditas-komoditas seperti kelapa sawit dan batu bara yang tidak memiliki potensi pajak yang besar, dan sektor pertanian yaitu 13,23% dimana komoditas ini (khusunya pertanian) merupakan non taxable. Hal ini menunjukan bahwa tax base Indonesia masih lemah.Ketiga perkembangan perangkat teknologi informasi yang semakin pesat, kualitas sumber daya manusia yang mempuni, serta regulasi yang akseleratif dengan perkembangan dunia digital yang membawa arus ekonomi digital,membuat regulator (pemerintah) kesulitan dalam merekam potensi pajak karena keterbatasan regulasi dan instrument administrasi. Padahal jika ditelusuri lebih jauh potensi pajak dari e-commerce begitu besar. Dari laporan Digital in 2017 Global Overview menyebutkan pengguna internet di Indonesia mencapai 51 persen dari total penduduk, 95 atau 24,7juta penduduk membeli barang/jasa secara online, dan diketahui nilai transaksi pada 2016 saja mencapai USD5,6 miliar. Yang terakhir adalah praktik penghindaran pajak yang semakin marak dilakukan yang tercermin dalam program tax amnesty, serta data Panama Papers, Paradise Papers, Swissleaks, dan yang lainnya.
Upaya pemerintah dari sisi regulasi sampai saat ini memang patut diapresiasi. Kenaikan PTKP, tax amnesty, pemberlakuan AEOI, peningkatan sistem perpajakan dan informasi, dan lain sebagainya untuk menarik kesadaran wajib pajak serta memperluas basis pajak. Namun dilema berkelanjutan terjadi ketika pemerintah berkomitmen mendorong investasi (APBN 2019). Melalui kebijkan dan terobosan yang dipaparkan dalam APBN 2019 yaitu Insentif perpajakan sebagai transfer sumber daya kepada publik berupa pengurangan kewajiban pajak untuk mendukung daya saing industri nasional dan mendorong hilirisasi industri. Kebijakan-kebijakan yang coba dilakukan tersebut nampak baik sebagai upaya pemerintah dalam hal daya saing dan kemudahan dalam bisnis, namun efek implisit yang terjadi berupa kesulitan pemerintah dalam menaikan tax ratiokini menjadi hal yang sangat kentara.
Dengan ketertinggalan jauh bangsa Indonesia dalam hal tax ratioini, padahal PDBnya merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, serta dengan berbagai macam permasalahan yang dihadapi nampaknya perlu dilakukan restrukrisasi pajak Indonesia terhadap tax ratiountuk akselerasi ekonomi Indonesia yang sehat sesuai dengan harapan bersama yang tercermin dalam banyak rencana kerja negara. Reformasi perpajakan harus dilakukan secara holistik dan konsisten. Hal pertama yang sangat urgen adalah sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya pajak guna pembangunan bangsa. Harapan wajib pajak memiliki kesadaran tersendiri tidak akan bisa tercapai jika pendidikan tentang literasiperpajakan tidak menyasar ke segala lini. Contoh kentaranya adalah aturan E-Commerce sebagai upaya pemerintah memberlakukan kesetaraan pajak bagi warga negara, Kementerian Keuangan sempat memberlakukan PMK-210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce) pada tanggal 31 Desember 2018 lalu. Namun pada akhir Maret 2019 PMK tersebut ditarik oleh menteri keuangan.Hal ini disebabkan karena banyak yang salah kaprah terhadap aturan tersebut, menganggap pemerintah mengeluarkan pajak baru, maka menurutnya perlu sosialisasi lebih mendalam agar semua pihak mengerti akan PMK tersebut. Kemudian sinergitas antar lembaga perlu diberikan perhatian lebih mengingat kelanggengan sosialisasi pada tataran yang lebih mendalam kepada masyarakat tidak dapat dicapai oleh hanya satu lembaga saja yang bergerak.Dalam hal ini Bhima Yudistira ekonom INDEF, memberikan solusi untuk mengadopsi sistem IRS (Internal revenue service) dari Amerika.Lebih lanjut sinergitas antar lembaga hendaknya juga dilakukan dengan orientasi perluasan terhadap basis pajak yang sampai saat ini masih terbilang lemah.Selanjutnya hal teknis yang bisa dilakukan antara lain: memanfaatkan data tax amnesty dan AEoI untuk mengejar potensi wajib pajak, memperluas basis pajak baru khususnya di bisnis digital atau perusahaan over the top, dan merumuskan pola komunikasi perpajakan yang lebih ramah terhadap pelaku usaha (Yudistira, Bima: 2019). Terakhir, komitmen pemerintah dalam mengawasi regulasi yang sudah diciptakan dan memastikan bahwa semua hal tersebut berjalan sesuai koridornya.
Referensi
Direktorat Neraca Produksi. Produk Domestik Bruto Indonesia Triwulanan 2015-2019. 2019. Badan Pusat Statistik.
Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran. 2019. APBN 2019. Kementerian Keuangan.
Kementerian Keuangan. Kejar Rasio Optimal Media Keuangan: Transparansi Informasi kebijakan Fiskal. Media Keuangan: Transparansi Informasi Kebijakan Fiskal, Volume XIV/NO. 138, Maret 2019.
Kevin, Anthony. Miris! Ternyata Tax ratioIndonesia Terendah di Asia Pasifik.Di akses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190726094730-4-87743/miris-ternyata-tax-ratio-indonesia-terendah-di-asia-pasifik pada 31 November 2019.
Lubis, Ricky Karunia. Memperbaiki Kinerja Tax ratio: Sebuah Pendekatan Makro. Diakses dari https://www.pajak.go.id/id/artikel/memperbaiki-kinerja-tax-ratio-sebuah-pendekatan-makro pada 31 November 2019.
Premesti, Iswari, Anggit. Pengumuman: Sri Mulyani Tarik Aturan E-Commerce, Batal Semua!.Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190329160155-37-63738/pengumuman-sri-mulyani-tarik-aturan-e-commerce-batal-semuapada 31 November 2019.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Komunitas Mar-G

 
Support : LPM Marginal Proudly powered by MG Bloganizer
Copyright © 2009. Marginal Blog - All Rights Reserved
Original Design by LPM Marginal FE UNRAM