Oleh : Khaeruddin, Kementerian Advokasi
Kajian dan Aksi Strategi BEM FEB UNRAM 2019
Pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007). Pajak adalah penerimaan negara yang
digunakan untuk kepentingan rakyat, pajak akan menjadi sumber kesejahteraan
rakyat jika dikelola dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu besar
kecilnya penerimaan pajak akan menentukan kesejahteraan rakyat. Pajak adalah bekal pemerintah mensejahterakan
masyarakat, pembagunan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Penerimaan
lain bisa saja melalui utang. Namun yang menjadi ketakutan adalah resiko
invansi dan intervensi debitur jika terjadi jumlah utang yang terlalu tinggi
untuk membiayai pembangunan dan lain sebagainya, ditambah kecenderungan
ketakutan masyarakat Indonesia akibat isu saat ini tentang negara dan kegagalan
melunasi utang yang masih pada ratio 29,98% terhadap PDB.
Tax
ratio (rasio pajak) adalah istilah yang digunakan untuk
mengukur kinerja perpajakan, yaitu perbandingan antara jumlah penerimaan
perpajakan dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dalam kurun waktu tertentu,
biasanya satu tahun.Tax ratiodipengaruhi
oleh berbagai faktor yaitu: kebijakan perpajakan termasuk tarif pajak,
efektivitas pemungutan pajak, berbagai insentif dan pengecualian pajak yang
diberikan kepada pelaku ekonomi dan masyarakat, dan kemungkinan terjadinya
pidana pajak seperti penghindaran dan penggelapan pajak (tax evasions and avoidances). Selain itu, rasio pajak juga
dipengaruhi oleh pendidikan dan pemahaman pajak dari masyarakat serta budaya
kepatuhan pajak termasuk sistem penegakan hukumnya. . Dalam arti luas tax ratio terdiri atas penerimaan
perpajakan beserta penerimaan SDA dan Minerba, sedangkan dalam arti sempit tax ratiohanya mengukur penerimaan
perpajakan, baik pajak pusat maupun bea dan cukai. Komponen penerimaan pajak di
Indonesia mencakup pemerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
dari sektor Migas dan sektor Pertambangan Umum.Pajak daerah tidak menjadi
komponen perhitungan rasio pajak di Indonesia.
Pada tahun 2015
realisasi penerimaan perpajakan hanya sebesar 83,29%, kemudian berturut-turut
pada tahun 2016, 2017 dan 2018 adalah 83,48%, 91,23% dan 93,86%. Kementerian
keuangan memberikan informasi terkait tax
ratioIndonesia. Pada 2013, tax ratioIndonesia
sempat berada pada angka 13,7%. Kemudian tahun 2015 terjadi degradasitax ratioyang sangat tajam yaitu 11,6%,
kemudian kembali turun pada 2016 pada angka 10,8%, dan pada 2017 turun lagi
pada 10,7%. Terakhir pada tahun 2018 naik kurang dari 1% yaitu pada 11,5%.
Organisation for
Economic Coperation and Development (OECD) menyoroti masalah perpajakan di
Indonesia.Dalam publikasinya yang bertajuk “Revenue
Statistics in Asian and Pacific economies 2019-Indonesia”, mengungkapkan
bahwa Indonesia merupakan negara dengan tax
ratio yang terendah dibandingkan negara-negara lain di Asia Pasifik.Data
yang digunakan oleh OECD adalah data tahun 2017. Menurut OECD tax ratiorata-rata negara anggotanya
adalah 34,2%, serta rata-rata tax ratiokawasan
Latin America and Caribbean dan Afrika masing-masing sebesar 22,8% dan 18,2%. Tahun
2018 Di Asia Tenggara, tax ratioIndonesia
masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia 14,4%, Filipina 13,67%,
Singapura 14,29% dan Kamboja 15,3% serta Thailand 15,7%. Angka tax ratioyang dipaparkan oleh OECD
berbeda dengan publikasi dari kementerian keuangan, hal in adalah wajar sebab
terdapat beberapa metode penghitungan tax
ratio. Namun yang jelas, komponen yang digunakan oleh OECD sama untuk semua
negara yang menjadi anggotanya, sehingga data tersebut dapat dikatakan sah
menjadi rujukan.
Tax ratio Indonesia selama 5 tahun hanya
berkutat pada angka 10-12%. Padahal menurut Worl Bank tahun 2019 ideal dan
rata-rata tax ratio dunia adalah
15,3%.MHD. Ricky Karunia Lubis, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dalam
artikel DJP pernah membuat suatu kajian mendalam yang bertajuk “Memperbaiki
Kinerja Tax Ratio: Sebuah Pendekatan
Makro” pada 2018. Ricky menyoroti berbagai permasalahan dalam menilai kinerja
perpajakan dalam dua sudut pandang yaitu: secara global dan institusional.
Secara global analisis yang patut diberikan perhatian menurutnya adalah
komponen dalam PDB dan liberalisasi perdagangan, sedangkan secara institusional
yang perlu disoroti menurutnya adalah regulasi dan kebijakan, kenaikan PTKP
(Pendapatan Tidak Kena Pajak) pada tahun 2016, penguatan organisasi, regulasi
dan sumber daya manusia, serta sinergitas antar lembaga untuk memperkuat basis
data.
Senada
dengan hal yang diungkapkan oleh Ricky, Kementerian Keuangan melalui majalah
resmi Media Keuangan Volume XIV, Maret 2019 yang mengangkat tajuk Transparansi
Informasi Kebijakan Fiskal membahas fenomena tax rationIndonesia. Yustinus Prastowo, Direktur Center for
Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyatakan bahwa fenomena rendahnya tax ratiodi Indonesia merupakan suatu
hal yang menyimpang dari konsep. Sebab tumbuhnya perekonomian suatu negara
idealnya diiringi dengan peningkatan kinerja pumungutan pajak, dengan kata lain
pertumbuhan ekonomi dalam hal ini PDB seharusnya linier dengan tax ratio, hal ini tidak berlaku di
Indonesia yang kinerja pemungutan pajak cenderung stagnan. Menurut Yustinus
terdapat 4 faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
Pertama persentase
kepatuhan wajib pajak yang masih berada pada angka 68% (data tahun 2017),
kepatuhan ini baru sebatas pada kepatuhan formal atau kepatuhan dalam
menyampaikan surat pemberitahuan pajak (SPT), belum memperhitungkan kepatuhan
material atau unsur kebenaran dari isi SPT. Kedua tingginya hard to tax sector termasuk di dalamnya
jumlah usaha yang masih bersifat rintisan atau Usaha Mikro kecil dan Menengah
(UMKM). Pada satu sisi, UMKM menjadi penyumbang PDB terbesar, komposisi UMKM
mencapai 59,2 juta atau 98,75% dari total 60,01 juta unit usaha yang ada di
Indonesia. Disisi lain, jumlah wajib pajak UMKM yang terdaftar baru mencapai
1,69 juta. Hal ini dikarenakan masih rendahnya kepatuhan dan literasi mengenai
pajak pada sektor UMKM, serta tantangan yang dihadapi untuk mengajak para
pelaku UMKM masuk ke dalam sistem perpajakan. Selain itu, berdasarkan data PDB
Indonesia Triwulanan 2015-2019 ada dua sektor usaha yang menyumbangkan
kontribusi dominan yaitu pengolahan (industry) dengan angka 20,38% dengan
dominasi komoditas-komoditas seperti kelapa sawit dan batu bara yang tidak
memiliki potensi pajak yang besar, dan sektor pertanian yaitu 13,23% dimana
komoditas ini (khusunya pertanian) merupakan non taxable. Hal ini menunjukan bahwa tax base Indonesia masih lemah.Ketiga perkembangan perangkat
teknologi informasi yang semakin pesat, kualitas sumber daya manusia yang
mempuni, serta regulasi yang akseleratif dengan perkembangan dunia digital yang
membawa arus ekonomi digital,membuat regulator (pemerintah) kesulitan dalam
merekam potensi pajak karena keterbatasan regulasi dan instrument administrasi.
Padahal jika ditelusuri lebih jauh potensi pajak dari e-commerce begitu besar. Dari laporan Digital in 2017 Global Overview menyebutkan pengguna internet di
Indonesia mencapai 51 persen dari total penduduk, 95 atau 24,7juta penduduk
membeli barang/jasa secara online, dan diketahui nilai transaksi pada 2016 saja
mencapai USD5,6 miliar. Yang terakhir adalah praktik penghindaran pajak yang
semakin marak dilakukan yang tercermin dalam program tax amnesty, serta data Panama Papers, Paradise Papers, Swissleaks,
dan yang lainnya.
Upaya pemerintah dari
sisi regulasi sampai saat ini memang patut diapresiasi. Kenaikan PTKP, tax amnesty, pemberlakuan AEOI,
peningkatan sistem perpajakan dan informasi, dan lain sebagainya untuk menarik
kesadaran wajib pajak serta memperluas basis pajak. Namun dilema berkelanjutan
terjadi ketika pemerintah berkomitmen mendorong investasi (APBN 2019). Melalui
kebijkan dan terobosan yang dipaparkan dalam APBN 2019 yaitu Insentif
perpajakan sebagai transfer sumber daya kepada publik berupa pengurangan
kewajiban pajak untuk mendukung daya saing industri nasional dan mendorong
hilirisasi industri. Kebijakan-kebijakan yang coba dilakukan tersebut nampak
baik sebagai upaya pemerintah dalam hal daya saing dan kemudahan dalam bisnis,
namun efek implisit yang terjadi berupa kesulitan pemerintah dalam menaikan tax
ratiokini menjadi hal yang sangat kentara.
Dengan ketertinggalan
jauh bangsa Indonesia dalam hal tax ratioini,
padahal PDBnya merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, serta dengan
berbagai macam permasalahan yang dihadapi nampaknya perlu dilakukan
restrukrisasi pajak Indonesia terhadap tax
ratiountuk akselerasi ekonomi Indonesia yang sehat sesuai dengan harapan
bersama yang tercermin dalam banyak rencana kerja negara. Reformasi perpajakan
harus dilakukan secara holistik dan konsisten. Hal pertama yang sangat urgen
adalah sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya pajak guna pembangunan
bangsa. Harapan wajib pajak memiliki kesadaran tersendiri tidak akan bisa
tercapai jika pendidikan tentang literasiperpajakan tidak menyasar ke segala
lini. Contoh kentaranya adalah aturan E-Commerce
sebagai upaya pemerintah memberlakukan kesetaraan pajak bagi warga negara,
Kementerian Keuangan sempat memberlakukan PMK-210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan
Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce) pada tanggal 31 Desember
2018 lalu. Namun pada akhir Maret 2019 PMK tersebut ditarik oleh menteri
keuangan.Hal ini disebabkan karena banyak yang salah kaprah terhadap aturan
tersebut, menganggap pemerintah mengeluarkan pajak baru, maka menurutnya perlu
sosialisasi lebih mendalam agar semua pihak mengerti akan PMK tersebut. Kemudian
sinergitas antar lembaga perlu diberikan perhatian lebih mengingat kelanggengan
sosialisasi pada tataran yang lebih mendalam kepada masyarakat tidak dapat
dicapai oleh hanya satu lembaga saja yang bergerak.Dalam hal ini Bhima
Yudistira ekonom INDEF, memberikan solusi untuk mengadopsi sistem IRS (Internal revenue service) dari Amerika.Lebih
lanjut sinergitas antar lembaga hendaknya juga dilakukan dengan orientasi
perluasan terhadap basis pajak yang sampai saat ini masih terbilang lemah.Selanjutnya
hal teknis yang bisa dilakukan antara lain: memanfaatkan data tax amnesty dan AEoI untuk mengejar
potensi wajib pajak, memperluas basis pajak baru khususnya di bisnis digital
atau perusahaan over the top, dan
merumuskan pola komunikasi perpajakan yang lebih ramah terhadap pelaku usaha (Yudistira,
Bima: 2019). Terakhir, komitmen pemerintah dalam mengawasi regulasi yang sudah
diciptakan dan memastikan bahwa semua hal tersebut berjalan sesuai koridornya.
Referensi
Direktorat Neraca Produksi. Produk Domestik Bruto
Indonesia Triwulanan 2015-2019. 2019. Badan Pusat Statistik.
Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal
Anggaran. 2019. APBN 2019. Kementerian Keuangan.
Kementerian Keuangan. Kejar Rasio Optimal Media
Keuangan: Transparansi Informasi kebijakan Fiskal. Media Keuangan: Transparansi Informasi Kebijakan Fiskal, Volume
XIV/NO. 138, Maret 2019.
Kevin, Anthony. Miris! Ternyata Tax ratioIndonesia
Terendah di Asia Pasifik.Di akses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190726094730-4-87743/miris-ternyata-tax-ratio-indonesia-terendah-di-asia-pasifik
pada 31 November 2019.
Lubis, Ricky Karunia. Memperbaiki Kinerja Tax ratio:
Sebuah Pendekatan Makro. Diakses dari https://www.pajak.go.id/id/artikel/memperbaiki-kinerja-tax-ratio-sebuah-pendekatan-makro
pada 31 November 2019.
Premesti, Iswari, Anggit. Pengumuman: Sri Mulyani
Tarik Aturan E-Commerce, Batal Semua!.Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190329160155-37-63738/pengumuman-sri-mulyani-tarik-aturan-e-commerce-batal-semuapada
31 November 2019.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !